KARAWANG | SUARADESA .MY.ID.|
Dedi Mulyadi, “Gubernur Konten” yang Kini Dianggap Menyepelekan Media
Tak ada yang menyangkal, Dedi Mulyadi adalah sosok yang lihai mencuri perhatian publik. Di era digital yang serba cepat ini, ia tahu betul bagaimana memanfaatkan platform media sosial untuk membangun citra dan menyampaikan pesan. Bukan sekali dua kali, pernyataannya memantik kontroversi, tapi justru dari situlah daya viral KDM—sapaan akrabnya—berasal.
Follower-nya di berbagai platform mencapai jutaan. Sekali unggah, kontennya langsung dibanjiri ratusan ribu likes dan komentar. Banyak netizen yang memujinya—entah karena kebijakan saat ia menjabat di Pemprov Jabar, gaya hidup sederhana, atau interaksinya yang intens dengan warga, meski hanya berupa sapaan pagi dari pesawahan di Lembur Pakuan Dawuan Subang.
“Assalamualaikum sampurasun wilujeng enjing wargi Jabar, sehat bahagia. Seluruh warganet,” sapaan khas KDM dalam video paginya, membuat masyarakat merasa punya pemimpin yang dekat secara emosional.
Tak heran, ia dijuluki Gubernur Konten. Bahkan julukan itu datang dari Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud. Bukannya tersinggung, KDM justru menganggapnya sebagai pengakuan bahwa pendekatannya melalui media sosial mampu menekan biaya iklan pemerintah. Ia mengklaim anggaran promosi Pemprov Jabar yang semula mencapai Rp50 miliar bisa ditekan menjadi hanya Rp3 miliar—sebuah langkah efisiensi yang disambut baik sebagian warga.
Namun, di balik pujian itu, kebijakan tersebut juga menimbulkan resistensi, terutama dari kalangan media. Pasalnya, pos anggaran yang sebelumnya menjadi sumber pemasukan tetap bagi media lokal, kini dipangkas drastis. Tak hanya soal uang, tapi juga soal penghargaan terhadap peran pers dalam demokrasi.
Puncak kontroversi muncul ketika KDM secara gamblang dalam sebuah forum menyatakan bahwa di era digital, masyarakat dan pemerintah tak perlu lagi bermitra dengan media. Sebuah pernyataan yang sontak dianggap mencederai eksistensi pers nasional. Diksi yang ia gunakan seolah menggiring opini publik bahwa cukup dengan TikTok, Instagram, YouTube, atau Facebook, semua informasi bisa tersampaikan.
Pandangan ini tentu sangat problematik. Sebab, media sosial dan media massa bukanlah dua hal yang setara. Media sosial cepat dan luas jangkauannya, tapi minim verifikasi. Media massa memiliki prosedur jurnalistik, verifikasi ketat, kode etik, dan tanggung jawab hukum yang jelas. Di situlah letak perbedaan mendasarnya.
Ironis, pernyataan seperti itu justru keluar dari KDM—sosok yang dulu dikenal harmonis dengan insan pers saat menjabat Bupati Purwakarta dua periode. Dulu, gaung “Purwakarta Istimewa” tidak lepas dari peran media, baik cetak, elektronik, maupun daring, yang gencar mempublikasikannya.
Tanpa peran media saat itu, sulit membayangkan bagaimana narasi pembangunan dan pencapaian KDM bisa dikenal luas, hingga membawanya ke kursi Gubernur Jawa Barat. Sebelum ada video sapaan di pesawahan, ada ruang-ruang redaksi dan halaman-halaman surat kabar yang menyiarkan langkah dan gagasannya.
Kini, setelah menjabat Gubernur Jabar, sikapnya berubah drastis. Ia terlihat mengambil jarak dari media konvensional. Bahkan, kebijakan dan narasi yang ia bangun seolah bertolak belakang dengan langkah Presiden Prabowo Subianto yang justru mengedepankan kolaborasi dan komunikasi dengan insan pers. Dalam momen 100 hari kerjanya, Presiden Prabowo bahkan secara khusus mengundang para jurnalis senior untuk berdiskusi, menyampaikan ide dan kebijakan, serta membuka ruang wawancara.
Presiden Prabowo tegas menyatakan bahwa pers adalah pilar penting demokrasi, yang harus tetap dinamis, bertanggung jawab, dan berkomitmen terhadap kepentingan bangsa. Ia menyebut jurnalis sebagai penjaga kebenaran dan penyampai informasi yang akurat di tengah gelombang disinformasi yang semakin masif.
Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi KDM. Bahwa media bukan sekadar alat promosi, tapi mitra strategis dalam pembangunan. Dalam skema pentahelix, media berperan sebagai penguat informasi dan kontrol sosial yang tak tergantikan.
Tulisan ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun—termasuk ‘Bapak Aing’, panggilan populis untuk KDM. Tapi justru sebagai bentuk kepedulian. Setiap pemimpin pasti punya sisi lebih dan kurang. Namun, ketika yang kurang itu berkaitan langsung dengan relasi media dan publik, maka perlu diluruskan.
Jika tidak, luka ini bisa membesar. Tak hanya menjadi gesekan antara seorang kepala daerah dengan insan pers, tetapi bisa berkembang menjadi gerakan solidaritas nasional. Aksi-aksi jurnalis seperti yang sudah dilakukan di Kabupaten dan Kota Bekasi, serta yang direncanakan di Karawang pada 7 Juli 2025, bisa jadi awal dari reaksi kolektif atas pernyataan yang dianggap merendahkan profesi wartawan.
Pemimpin yang bijak bukan hanya membangun jalan, jembatan, atau sekolah. Tapi juga menjalin dan menjaga jembatan komunikasi dengan semua elemen bangsa, termasuk media. Sebab, informasi yang berkualitas, hanya bisa lahir dari ruang yang menjunjung tinggi profesionalisme dan etika jurnalistik.